Rumah terbakar tersisa
pondasi. Harta benda lainnya sudah hangus menjadi abu. Sejentik senyuman yang
merekah di bibir anak-anak Karet Tengsin, Benhil pertanda masih ada harapan.
Berita kebakaran di Karet Tengsin, Bendungan Hilir (Benhil)
masih terngiang dalam ingatan kami Gempita (Generasi Muda Pencinta Indonesia).
Betapa tidak, kawasan tersebut merupakan rute sehari-hari menuju kantor saya
dan beberapa di antara kami. Lantas kami pun mencari tahu apa yang terjadi di
sana.
Setelah kami mengakses beberapa portal berita online
didapatkan informasi bahwa kebakaran terjadi karena meledaknya ponsel yang
sedang di-charge dari salah satu
rumah warga. Percikan api menjalar
cepat. Total 480 sampai 560 rumah warga habis terbakar si jago merah. Sedihnya
lagi, warga harus ada yang mengungsi di atas makam TPU Karet Tengsin. Jujur,
kami sebenarnya belum memahami pasti lokasi kebakaran. Memang di belakang
pemakaman ada pemukiman warga, tapi jelasnya seperti apa kehidupan di sana kami
belum secara detail mengetahuinya.
Inilah yang membuat hati kami tersentak untuk terjun ke
lokasi. Bayangkan, di saat orang lainnya melaksanakan ibadah puasa dan ibadah
lainnya sepanjang Ramadhan, warga Jalan Kalimati ini harus puas meratapi
nasibnya dengan melihat langsung rumah dan harta benda mereka dilalap si jago
merah. Ini jelas tidak adil. Ya, tidak adil jika kita cukup nyaman berbuka
puasa, sedangkan di sana banyak orang menangis karena musibah yang mereka
sendiri tidak tahu kapan akan terjadi.
Selepas berbuka puasa, kami pun mendatangi lokasi Posko
Kebakaran Benhil, selasa (14/6). Posko yang dikomandoi oleh Ketua Pokdar
(Kelompok Kesadaran) Kamtibnas Tanah Abang Bobby dan wakil LSM Joice sudah
dipenuhi oleh barang-barang bantuan dari warga. Cukup menggembirakan, di tengah
carut marut kepentingan elit politik di tingkat atas negeri ini, masyarakat
kita masih sangat peduli dengan saudaranya. Saat itu hati saya bagai tersiram air dingin, sungguh adem.
Tumpukan pakaian di atas makam |
Kami berbincang dengan Bobby dan Joice mengenai kebutuhan
korban saat ini. Menurut Bobby, bala bantuan berupa pakaian bekas sudah sangat
melimpah. “Pakaian sudah sangat banyak yang ngasih. Mbak dan Mas bisa cek ke
lokasi langsung, pakaian menumpuk dan bisa jadi alas tidur karena banyaknya,”
tutur Bobby.
Joice mengiyakan rekannya itu. Menurutnya, selain pakaian
bekas yang menumpuk jumlahnya, ketersediaan sembako juga sudah cukup banyak. Posko
akan mengordinir sembako itu ke dalam paket-paket berjumlah lebih dari 500-an.
“Sembako-sembako inilah yang akan kita bagi per paket. Setiap keluarga dapat 1
paket. Ini kita lakukan biar penyalurannya merata,” kata Joice.
Bobby menambahkan, saat ini anak-anak membutuhkan
perlengkapan sekolah, karena (28/8) pekan depan mereka sudah mulai masuk.
“Kemarin malam (13/6) posko kita didatangi anak-anak. Mereka menanyakan buku,
alat tulis, tas dan perlengkapan sekolah lainnya. Mungkin itu yang anak-anak
butuhkan saat ini,” ungkap Bobby.
Mengungsi di Atas
Makam
Kami akhirnya memutuskan untuk membelikan adik-adik di Benhil perlengkapan sekolah. Sisa dana Bukber Anak Yatim Piatu di Kalideres dan
beberapa donatur tambahan lainnya sudah siap dialokasikan. Waktu persiapan yang
hanya satu setengah hari membuat kami agak bergegas. Apalagi banyak toko
perlengkapan sekolah sudah tutup karena ditinggal pemiliknya mudik lebaran.
Akhirnya, setelah mengeksplorasi kawasan pasar Mayestik kami mendapatkan apa
yang dicari. Kami membaginya menjadi 50 paket yang berisi tempat pensil, buku
dan alat tulis.
Setelah berbuka kami meluncur ke lokasi. Paket perlengkapan
sekolah pun langsung kami kasih ke posko. Terus langsung pulang? Oh tidak, bukan
Gempita namanya kalau hanya puas menyalurkan tanpa berinteraksi dengan warga
korban kebakaran termasuk anak-anak di sana. Kami berjalan kaki menuju ke
lokasi pengungsian. Di situlah rasa penasaran saya makin menjadi-jadi, “apa iya
mereka tidur di atas makam?”
Bendera Ormas dan Partai Politik sudah terpampang menantang
angkasa tepat di depan lokasi pengungsian. Posko-posko juga mereka tancapkan di
sana. Motifnya? Silahkan dianalisis sendiri. Saya berharap mereka ada di sana
karena alasan kemanusiaan bukan kepentingan politiknya. Ya, semoga.
Gang senggol menuju pengungsian |
Tidak jauh dari posko tersebut, anak-anak sedang riang
bermain dengan sesamanya di atas pakaian-pakaian bekas yang bertumpuk. Senyum
optimistis mereka lah yang membuat kami mendatangi dan berinteraksi dengannya.
Memang, tidak semua anak yang bermain di sana adalah korban kebakaran. Tapi
kebakaran ini menyatukan mereka. Ya, selalu ada nilai positif dari setiap
musibah.
Kami pun melewati gang senggol yang di kiri-kanannya rumah
hanya tinggal pondasi. Ternyata kawasan tersebut adalah pemukiman padat
penduduk dengan luas rumah kira-kira 5x10 meter. Di akhir lorong, baru tampak
jelas apa yang menjadi pertanyaan saya selama dua hari ini. Benar, mereka
tinggal di atas makam Karet Tengsin beralaskan kasur buntal palembang hasil
sumbangan masyarakat dan beratapkan terpal.
“Iya mas, pada tidur di atas makam. Kamar mandinya ada di
ujung sana, di WC umum TPU (Karet Tengsin). Habis mau gimana lagi, yang ada
hanya di sini. Kan ini juga sementara, beberapa minggu ke depan kita harus
sudah nggak di sini,” ujar salah satu korban dan Koordinator Penyaluran Bantuan
Juju.
Tugas Juju tidak bisa dikatakan ringan. Ia mendata kebutuhan
warga yang mengungsi di pemakaman. Sulit? Iya, karena ia harus membagi
perasaannya sebagai korban kebakaran dan juga relawan yang membantu para korban
lainnya.
Kini, Juju dan ratusan korban kebakaran dihadapkan pada dua
hari perayaan, kemerdekaan RI (17/8) dan Hari Raya Iedul Fitri (19/8-20/8). Tradisi
mudik Lebaran boleh saja terlewatkan oleh korban kebakaran ini, tapi esensi
kemerdekaan dan hari kemenangan wajib mereka rasakan seperti halnya kita.
Justru keterbatasan mereka melecutkan semangat kita untuk tersadar dari tidur
panjang dan kursi nyaman kita.
Manusia itu makhluk sosial kan, temans? Yuk bagi
senyum kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar