Kamis, 23 Agustus 2012

Cita-Cita dan Passion, Saling Berkait?

"Nanti kalau sudah besar mau jadi apa?"

"Pilot!" 






Pertanyaan ini pastinya sudah menjadi sarapan masa kecil. Entah apa yang terpikirkan oleh saya ketika menjawab itu. Waktu itu, saya tidak terlalu suka pesawat. Keluarga saya juga jarang atau bahkan enggak pernah berpergian dengan si burung besi ini. Jadi apa ya yang membuat saya menjawab itu dengan mantap kala itu? Kepolosan anak-anak kah? Hmmm.

Sadar atau tidak pilihan cita-cita masa kecil kita sudah dikonstruksi oleh lingkungan sekitar, termasuk orang tua dan guru. Pilot, dokter, dan polisi menjadi langganan profesi yang disebutkan oleh anak-anak seusia saya waktu itu. Dan itu diperkuat dengan karnaval 17-an yang sudah menjadi rutinitas memperingati Hari Kemerdekaan kita. Hampir semua anak di Perumahan tempat saya tinggal menjelma menjadi pilot, dokter dan polisi kecil versi orang tua mereka.

Saya? Herannya saya tidak tertarik tuh dengan atribut pilot. Boro-boro sampai membayangkan nyetir pesawat, saya aja takut ketinggian, blah! Ujung-ujungnnya malah bisa muntah semua seisi pesawat karena saya lupa harus mencet tombol yang mana karena stress sendiri di udara.

Karnaval 17-an di masa kecil saya lewati dengan memilih kostum pahlawan betawi, Si Pitung. Atribut legenda betawi ini lengkap saya adaptasi, mulai dari sarung, peci dan pakaian koko khas betawi. Uniknya, di akhir masa karnaval, saya mengenakan pakaian pitung berwarna pink hasil kreasi ibu saya. Dan, saya menjadi pusat perhatian orang-orang. Dulu memang saya enggak mikir jauh kenapa orang-orang memerhatikan saya segitunya. Baru deh sekarang mikir, "ohh dulu itu mungkin mereka ngeliat saya karena pink itu identik dengan perempuan." Hmm lagi-lagi konstruksi gender.

Belajar Menyetir Mimpi
 
"Kuliah nanti ambil jurusan apa, teknik?"

"Enggak, aku maunya komunikasi"

"Apa itu? Mau jadi apa?"

"Wartawan."

Itulah percakapan saya dengan bapak ketika kelas 2 SMA. Bapak menyarankan saya untuk masuk IPA, ya karena beliau memang lulusan Teknik Sipil. Meja gambar tekniknya sudah dipersiapkan untuk saya. Namun saya menolaknya.

Saya memilih IPS, dan jurusan Ilmu Komunikasi Undip menjadi pijakan saya dalam menggapai mimpi. Wartawan (Jurnalis)? Ya hanya itu yang saat itu saya tahu tentang profesi jebolan Ilmu Komunikasi. "Ibu enggak mau kamu jadi wartawan. Nanti terjun di perang, nyawamu terancam," itu nasehat Ibu yang masih saya ingat.

Sebelum saya mengikuti tes masuk Universitas, saya sudah membeli buku "Pengantar Ilmu Komunikasi". Tujuannya satu, saya harus bisa membuktikan bahwa masuk Ilmu Komunikasi ingin jadi wartawan. Padahal, saya pun masih bingung jobdesk wartawan ngapain aja ketika itu.

Di perkuliahan lah saya banyak belajar bagaimana menyetir mimpi. Bukan hanya dari mata kuliah yang saya ikuti, tapi dari kegiatan-kegiatan di luar perkuliahan. Saya belajar banyak hal. Bagi saya, kuliah tidak hanya giat belajar untuk mendapatkan nilai bagus dan ujung-ujungnya IPK yang tinggi menjulang bahkan cumlaude. Tidak itu! Karena saya tipikal orang yang enggak suka menghafal. Saya cinta membaca, tapi bukan untuk menjawab soal-soal ujian dengan menghafal. Membaca adalah berimajinasi. Membaca adalah bermain. Membaca adalah Layang-Layang, yang bisa bebas terbang kapan saja menghirup udara bebas di atas sana.

Membaca dan Menulis. Ya, dua hal itu bagai sendok dan garpu. Tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Kegiatan menulis saya mulai sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Saya suka menulis puisi. Kecintaan ini saya kembangkan juga menjadi tulisan artikel. Puisi dan artikel adalah dua senjata saya dalam melukiskan kisah, dalam mengkritisi realita. Di sinilah ilmu komunikasi saya kepakai. Saya menggunakan komunikasi untuk membunyikan suara-suara yang teredam. Pesan inilah yang dikemas menjadi senjata. Ya, senjata yang berbunyi.

Dari perjalanan pekerjaan saya yang terus berpindah, akhirnya saya menemukan titik cerah. Menjadi Penulis. Ilmu tulis menulis tidak sepenuhnya saya dapatkan di sekolahan, tapi di lingkungan pekerjaan saya. Deadline ketat membuat saya berpacu dengan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya bukan keinginan saya. Alienasi pun terjadi dengan saya. Benar kata Marx, bahwa manusia memang jadi terasing dari dirinya ketika disudutkan dengan berbagai kepentingan, ya kapital. Bekerja menjadi penulis dan editor di suatu perusahaan konsultan komunikasi sempat membuat saya terasing dari karya tulis. Karena tulisan yang dihasilkan tidak mengalir dengan apa adanya, tapi "ada apanya". Ya, kita dituntut untuk membuat tulisan indah di mata klien, dengan nilai (kompensasi)  karya serendah-rendahnya. Saya pun memutuskan untuk keluar.

Menemukan Passion

Di kantor konsultan media ini saya sudah menjajal cita-cita saya ketika SMA, ya jadi wartawan. Meliput berita, mewawancarai narasumber dan menulis naskah menjadi pekerjaan rutinitas. Saya menjadi jurnalis untuk majalah khusus, yaitu In-House Magazine dari klien-klien perusahaan tempat saya bekerja. Menyenangkan? Sangat! Di sini saya mendapat beberapa teman wartawan baru dari majalah dan koran ternama. Hubungan saya dengan klien pun baik. Kita pun masih berhubungan sampai saya memutuskan  resign.

Passion? Ini penting! Cita-cita setinggi apapun tidak akan tercapai tanpa passion kita di dalamnya. Saya menemukan passion menulis saya belum lama ini. Memang membaca dan menulis sudah saya senangi sejak kecil. Tapi itu berlangsung alamiah tanpa disadari. Sama seperti saya menyebutkan profesi pilot untuk menjadi cita-cita saya. Pada akhirnya, saya tidak menyentuhnya sama sekali.

Menurut saya, menemukan passion itu bagai menggapai nyawa dari cita-cita. Kalau kita sudah mendapatkan nyawanya, tinggal ke mana akan kita hembuskan. Menulis sudah menjadi passion saya, secapek apapun saya akan tetap menulis. Tinggal ke "raga" mana saya akan menghembuskan nyawa menulis ini. Raga di sini berarti pekerjaan. 

Dari menulis bisa saja menjadi jurnalis, penulis atau editor buku, novel, skenario film, dll. Tidak mustahil juga untuk menemukan profesi lain yang mungkin dirasa enggak ada hubungannya seperti social worker. Ya, saya saat ini sedang berjuang mewujudkan impian saya menjadi Community System Strengthening Officer di salah satu LSM tertua di Indonesia. Profesi ini mungkin saja asing dalam dunia tulis menulis. Namun tadi saya bilang, menulis itu nyawa, dan menjadi CSS Officer itu raga saya. Selain itu, saya juga masih bisa menulis freelance di berbagai media. Hmmm menyenangkan bukan? Selama masih ada nyawa (menulis), raga (pekerjaan) akan berjalan sangat menyenangkan.

Menemukan passion adalah menyadari kecintaan. Sama seperti ketika kita mulai lirak lirik manusia yang kita sukai, lalu kita berjuang mendapatkannya. Setelah dapat kita akan puas, dan memulai hidup bersama dengan romansa yang kita padukan.

Mari temukan Passion kita, dan jadikan pekerjaan serta hidup kita lebih menyenangkan.


Selasa, 21 Agustus 2012

(Masih) Ada Senyuman di Benhil

Rumah terbakar tersisa pondasi. Harta benda lainnya sudah hangus menjadi abu. Sejentik senyuman yang merekah di bibir anak-anak Karet Tengsin, Benhil pertanda masih ada harapan.



Berita kebakaran di Karet Tengsin, Bendungan Hilir (Benhil) masih terngiang dalam ingatan kami Gempita (Generasi Muda Pencinta Indonesia). Betapa tidak, kawasan tersebut merupakan rute sehari-hari menuju kantor saya dan beberapa di antara kami. Lantas kami pun mencari tahu apa yang terjadi di sana.

Setelah kami mengakses beberapa portal berita online didapatkan informasi bahwa kebakaran terjadi karena meledaknya ponsel yang sedang di-charge dari salah satu rumah warga. Percikan api  menjalar cepat. Total 480 sampai 560 rumah warga habis terbakar si jago merah. Sedihnya lagi, warga harus ada yang mengungsi di atas makam TPU Karet Tengsin. Jujur, kami sebenarnya belum memahami pasti lokasi kebakaran. Memang di belakang pemakaman ada pemukiman warga, tapi jelasnya seperti apa kehidupan di sana kami belum secara detail mengetahuinya.

Inilah yang membuat hati kami tersentak untuk terjun ke lokasi. Bayangkan, di saat orang lainnya melaksanakan ibadah puasa dan ibadah lainnya sepanjang Ramadhan, warga Jalan Kalimati ini harus puas meratapi nasibnya dengan melihat langsung rumah dan harta benda mereka dilalap si jago merah. Ini jelas tidak adil. Ya, tidak adil jika kita cukup nyaman berbuka puasa, sedangkan di sana banyak orang menangis karena musibah yang mereka sendiri tidak tahu kapan akan terjadi.

Selepas berbuka puasa, kami pun mendatangi lokasi Posko Kebakaran Benhil, selasa (14/6). Posko yang dikomandoi oleh Ketua Pokdar (Kelompok Kesadaran) Kamtibnas Tanah Abang Bobby dan wakil LSM Joice sudah dipenuhi oleh barang-barang bantuan dari warga. Cukup menggembirakan, di tengah carut marut kepentingan elit politik di tingkat atas negeri ini, masyarakat kita masih sangat peduli dengan saudaranya. Saat itu hati saya bagai tersiram air dingin, sungguh adem. 

Tumpukan pakaian di atas makam
Kami berbincang dengan Bobby dan Joice mengenai kebutuhan korban saat ini. Menurut Bobby, bala bantuan berupa pakaian bekas sudah sangat melimpah. “Pakaian sudah sangat banyak yang ngasih. Mbak dan Mas bisa cek ke lokasi langsung, pakaian menumpuk dan bisa jadi alas tidur karena banyaknya,” tutur Bobby.

Joice mengiyakan rekannya itu. Menurutnya, selain pakaian bekas yang menumpuk jumlahnya, ketersediaan sembako juga sudah cukup banyak. Posko akan mengordinir sembako itu ke dalam paket-paket berjumlah lebih dari 500-an. “Sembako-sembako inilah yang akan kita bagi per paket. Setiap keluarga dapat 1 paket. Ini kita lakukan biar penyalurannya merata,” kata Joice.

Bobby menambahkan, saat ini anak-anak membutuhkan perlengkapan sekolah, karena (28/8) pekan depan mereka sudah mulai masuk. “Kemarin malam (13/6) posko kita didatangi anak-anak. Mereka menanyakan buku, alat tulis, tas dan perlengkapan sekolah lainnya. Mungkin itu yang anak-anak butuhkan saat ini,” ungkap Bobby.


Mengungsi di Atas Makam

Kami akhirnya memutuskan untuk membelikan adik-adik di Benhil perlengkapan sekolah. Sisa dana Bukber Anak Yatim Piatu di Kalideres dan beberapa donatur tambahan lainnya sudah siap dialokasikan. Waktu persiapan yang hanya satu setengah hari membuat kami agak bergegas. Apalagi banyak toko perlengkapan sekolah sudah tutup karena ditinggal pemiliknya mudik lebaran. Akhirnya, setelah mengeksplorasi kawasan pasar Mayestik kami mendapatkan apa yang dicari. Kami membaginya menjadi 50 paket yang berisi tempat pensil, buku dan alat tulis. 

Setelah berbuka kami meluncur ke lokasi. Paket perlengkapan sekolah pun langsung kami kasih ke posko. Terus langsung pulang? Oh tidak, bukan Gempita namanya kalau hanya puas menyalurkan tanpa berinteraksi dengan warga korban kebakaran termasuk anak-anak di sana. Kami berjalan kaki menuju ke lokasi pengungsian. Di situlah rasa penasaran saya makin menjadi-jadi, “apa iya mereka tidur di atas makam?”

Bendera Ormas dan Partai Politik sudah terpampang menantang angkasa tepat di depan lokasi pengungsian. Posko-posko juga mereka tancapkan di sana. Motifnya? Silahkan dianalisis sendiri. Saya berharap mereka ada di sana karena alasan kemanusiaan bukan kepentingan politiknya. Ya, semoga.

Gang senggol menuju pengungsian
Tidak jauh dari posko tersebut, anak-anak sedang riang bermain dengan sesamanya di atas pakaian-pakaian bekas yang bertumpuk. Senyum optimistis mereka lah yang membuat kami mendatangi dan berinteraksi dengannya. Memang, tidak semua anak yang bermain di sana adalah korban kebakaran. Tapi kebakaran ini menyatukan mereka. Ya, selalu ada nilai positif dari setiap musibah.

Kami pun melewati gang senggol yang di kiri-kanannya rumah hanya tinggal pondasi. Ternyata kawasan tersebut adalah pemukiman padat penduduk dengan luas rumah kira-kira 5x10 meter. Di akhir lorong, baru tampak jelas apa yang menjadi pertanyaan saya selama dua hari ini. Benar, mereka tinggal di atas makam Karet Tengsin beralaskan kasur buntal palembang hasil sumbangan masyarakat dan beratapkan terpal. 

“Iya mas, pada tidur di atas makam. Kamar mandinya ada di ujung sana, di WC umum TPU (Karet Tengsin). Habis mau gimana lagi, yang ada hanya di sini. Kan ini juga sementara, beberapa minggu ke depan kita harus sudah nggak di sini,” ujar salah satu korban dan Koordinator Penyaluran Bantuan Juju.

Tugas Juju tidak bisa dikatakan ringan. Ia mendata kebutuhan warga yang mengungsi di pemakaman. Sulit? Iya, karena ia harus membagi perasaannya sebagai korban kebakaran dan juga relawan yang membantu para korban lainnya.

Kini, Juju dan ratusan korban kebakaran dihadapkan pada dua hari perayaan, kemerdekaan RI (17/8) dan Hari Raya Iedul Fitri (19/8-20/8). Tradisi mudik Lebaran boleh saja terlewatkan oleh korban kebakaran ini, tapi esensi kemerdekaan dan hari kemenangan wajib mereka rasakan seperti halnya kita. Justru keterbatasan mereka melecutkan semangat kita untuk tersadar dari tidur panjang dan kursi nyaman kita. 

Manusia itu makhluk sosial kan, temans? Yuk bagi senyum kita.