Senin, 09 Januari 2012

Suara Malaikat Kecil Dari Cipayung

Kita punya mimpi. Begitu pun anak-anak di panti asuhan tunas bangsa ini. Mereka ditelantarkan orang tuanya. Dilempar ke dunia yang bising seorang diri. Mereka hidup bersama puluhan anak dengan latar belakang sama, dibuang dan dipaksa untuk hidup tanpa kasih sayang orang tua.

Jangan pernah bunuh mimpi mereka!



Sabtu (7/1), saya bersama teman-teman gempita main ke Panti Asuhan Tunas Bangsa, Cipayung. Tempat yang cukup teduh bagi 63 anak bibit bangsa yang dipaksa pergi jauh dari kehidupan layak, hidup tanpa keluarga. Mereka kehilangan kasih, yang mereka harapkan. Kehilangan sentuhan yang mereka inginkan. Kehilangan figur yang kelak mereka banggakan, orang tua.

Jati, balita 4 tahun langsung menubruk saya, sesaat setelah saya membuka pintu kamar tempat 20an anak usia 2,5 sampai 5 tahun itu tinggal. Bukan hanya Jati, 10-an anak menarik-narik saya untuk minta digendong. "Botaaaak botaaaakkk botaaaakkk," teriak mereka. Saya pun mendapat serbuan berupa keplakan ke kepala berkali-kali. Kalau yang mengeplak saya adalah orang sebaya yang tidak akrab, ataupun polisi sok aksi mungkin kepalan tangan saya yang akan melayang ke mukanya. Tapi ini beda, keplakan malaikat-malaikat kecil ini serasa elusan hangat bagi saya. Mereka butuh kasih sayang, bukan hujatan ataupun cercaan. Dan saya pun larut dalam suasana riang. Tak lama, jam makan pun tiba, dan mereka menyerbu ruang makan.

Selama berada di sana saya merenung, betapa beruntungnya kita yang hidup dengan orang tua, minta ini itu mudah, makanan tersedia di meja, kamar personal ada. Dengan segala kelebihan pun kita cenderung masih kurang puas, membentak orang tua pun kita lakukan demi menyatakan bahwa kita yang paling benar. Sedangkan mereka, dipaksa untuk menghirup udara panti, dan tak tahu kemana perginya orang tua mereka dan dengan alasan apa mereka dibuang. Kalau mau marah, mereka lah yang seharusnya marah ke orang tua mereka kelak nanti.

Pelajaran berharga hari itu bukan karena kita menyisihkan pendapatan kita untuk menyerahkan bantuan ke panti, tetapi makna keceriaan yang selalu dipancarkan oleh wajah-wajah tanpa dosa ini. Kita sudah terlalu muak membayangkan kondisi politik Indonesia yang carut marut, kehidupan sosial pun sudah membusuk seiring dengan jurang pemisah yang lebar antara si miskin dan si kaya. Sudah waktunya kita menyadarkan diri kita untuk menghirup udara-udara sosial yang tadinya dibekap oleh jabatan, jenjang karier, dan harta. Sadari, di sekitar masih banyak teman-teman yang tidak seberuntung kita.

Saya yakin, 63 anak di sini dan jutaan di luar sana punya mimpi. Merekalah bibit muda penerus bangsa ini yang kelak akan menjadi Hatta, Gusdur, Munir, Widji Thukul, Sri Mulyani, Kartini, Jokowi, Anies Baswedan atau Iwan Fals generasi baru. Merekalah yang kelak menggubah nada-nada Indonesia Raya menjadi sebuah lagu yang tidak hanya pantas didengar kala upacara. Mereka yang akan membuat undang-undang dasar 45 lebih bermakna dari sebuah tulisan tempelan. Mereka yang akan menjadikan burung garuda terbang tinggi mengepakkan sayapnya, dari sekedar sebuah hiasan dinding dan berdebu pada masa orde baru. Mereka yang akan kelak membumikan pancasila dari sekedar omong kosong belaka dan silat lidah anggota DPR dan pejabat. Dan Mereka yang akan mengevaluasi dan menjalankan perjuangan reformasi yang telah dilakukan setengah hati oleh orang-orang yang berteriak dan sekarang nyaman duduk di kursi. Ya mereka!







Cipayung, 7 Januari 2012

Minggu, 01 Januari 2012

"buku" Di Tahun Baru yang Bising

31 Desember 2011 - 19.14

Suara terompet dan petasan tak hentinya bersahutan memekakkan telinga. Malam menjelang pergantian tahun ini pun masih menyisakan kenangan yang sama setiap tahunnya, ramai, riuh dan bising. Jujur, saya tidak terlalu senang suasana ini. Namun, karena sudah ada janji penting saya pun meniatkan diri menembus malam. Dan sampai rumah sebelum jam 12.

Beberapa teman via bbm menanyakan pertanyaan yang sama pula setiap tahunnya di tanggal yang sama, "yan tahun baruan kemana?" Dan jawaban saya pun tetap sama "gw
ga kemana mana, di rumah aja." Dan sapaan dengan tema tahun baru pun berhenti di sini, karena mereka tahu saya kurang senang dengan kemeriahan dan keceriaan tahun baru yang menurut saya telah terkomodifikasi. Apalagi sih yang identik dengan trend tahun baru selain hura-hura, alkohol, petasan, dan terompet. Tanpa berpikir, apa manfaat jangka panjangnya bagi mereka setelah menghamburkan banyak uangnya untuk "keceriaan" sesaat itu. Resolusi? Hanya antologi pucat pasi yang kini berhamburan menghiasi TL twitter dan status facebook hingga BBM. Pajangan! Menurut saya resolusi ada di hati bukan diumbar.

Kendaraan yang saya kendarai melaju cepat. Peta
san sudah "jedar jedor" meski ini masih jam 7 malam. Saya membayangkan berada di suatu daerah konflik yang diserang tembakan dan bom berkali-kali. Jelas tidak nyaman bagi saya berada di sebuah kota yang hegemonik secara kultural, ya inilah budaya jakarta sebagai kota metropolitan kini, dimana mall-mall kian menjamur, gedung-gedung perkantoran tinggi menjulang kian angkuh mencakar langit, tempat-tempat keriaan anak muda dengan mudah dapat dicari, dan prostitusi ahhh lo punya uang tinggal tunjuk mau yang mana. Semua hal itu yang membuat saya semakin hari semakin asing dengan kota kelahiran saya ini.

Saya juga kurang paham apa maksud mereka menghamburkan uang demi kesenangan dan kepuasan. Dengan ajojing di tempat dugem, mabok, tiup-tiup terompet "ngasal", pasang petasan lalu lepas semua masalah? Saya sih tidak. Masih banyak teman-teman yang menganggap bawah kolong jembatan dan emperan pertokoan itu tempat yang nyaman untuk ditinggali, meski harus berhadapan dengan petugas Satpol PP dan Satpam yang sok aksi. Banyak juga anak-anak yang terpaksa tinggal di jalanan dan bekerja untuk Bapak-Ibunya demi sesuap nasi untuk keluarganya.

Adilkah? Ketika yang satu merayakan keceriaan tahun baru dengan berlimpah makanan, berpuluh puluh petasan terbeli, terompet-terompet warna warni yang tidak murah, dan minuman-minuman memabukkan terjajar dihajar lalu bersiap melewati detik pergantian tahun dengan menjelajah alam bawah sadar, sedang di tempat lain kelaparan dan berjuang mencari sesuap nasi untuk hari ini. Mungkin teman-teman terpikir pergantian 2011 - 2012 adalah keceriaan, namun teman-teman lain di sana perjalanan detik demi detik dihabiskan dengan : apa yang kita akan makan hari ini dan esok, sedang uang hasil jualan koran hari ini dan mengasong tidak cukup untuk membeli nasi dan sayur saja. Itupun masih dipotong untuk pajak dari para petugas-petugas preman berseragam.

23.45

Kini saya sudah di rumah dan sejak pukul sepu
luh tadi sibuk sendiri memainkan cajon, alat musik perkusi dari Peru yang akhirnya terbeli juga, setelah sekian lama memimpikan untuk memainkan alat musik ini bersama teman-teman PKBI. PKBI itu apa sih? Nah silahkan berpikir sejenak, browsing juga boleh, baca buku lebih keren, santai aja sambil ngopi tambah ciamik :D. Nanti akan saya bahas di tulisan berikutnya tentang kegiatan saya dan teman-teman PKBI.

Kembali sedikit ke musik. Ya, saya senang musik, dan bagi saya musik adalah pembebasan diri saya dari segala jenis rutinitas. Selain Puisi, musik juga sebagai sarana saya berekspresi dan berkeluh kesah tentang fenomena politik dan sosial d
i sekitar. Mahir? Ya nggak lah. Mahir hanya milik Tuhan, karena manusia diciptakan untuk belajar akan segala hal. Melalui musik saya mengenal ritme dan nada. Menurut saya, hidup pun perlu dua hal itu.

Kini tibalah 15 menit menjelang pergantian tahun. Saya menyudahi bercengkrama dengan mas cajon dan kembali ke dunia nyata. Tragisnya, ada penyusup masuk ke dalam lemari saya. Binatang m
enjijikan itu bernama kecoa, saya melihatnya seperti buah kurma yang berjalan. wuaw! saya memang geli dengan binatang ini. Sontak, langsung saya kuncikan dan sementara menetap dalam lemari. Biar besok pagi saya minta tolong Agen FBI (Mbak yang bantu-bantu di rumah) untuk menginvestigasi lemari. :D

Setelah insiden kurma berjalan itu, saya buka jendela kamar. Petasan semakin liar
dilesatkan ke udara, membentuk percikan kembang api yang bagi sebagian orang mungkin menarik. Bagi saya sama sekali tidak. Karena suaranya jelas mengganggu. Saya buka TL twitter saya, dan nyatanya bukan hanya saya yang merasakan ketidaknyamanan itu. Adik saya dan beberapa teman pun merasakannya.

@ekagentille "perut langsung sakit banget wkt dgrin bunyi2 petasan :( kayaknya si dedek ga suka jadi kontraksi :( maafin bunda ya nak"

Itulah twit dari Eka, teman kuliah saya. Eka bukan saja teman sekelas, tapi juga teman perjuangan dalam proses menyelesaikan thesis. Ya, Eka sedang mengandung bayinya. Dan membaca twitnya menginspirasi saya menulis ini. Terimakasih Eka, telah membuat bulu kuduk saya merinding dan mencoba merasakan perjuangan Eka.

Andaikan saja teman-teman yang semalam membakar petasan untuk kepuasan dirinya membaca twit Eka semalam. Bukankah kita dilahirkan juga oleh seorang ibu. Seseorang sosok yang membuat kita ada di dunia ini. Sosok yang dengan perjuangannya mengandung, dan melahirkan kita, membuat kita bisa ada di hari ini dan merasakan pergantian tahun.


Jujur, twit Eka semalam membuat hati saya tergetar, saya matikan lampu kamar dan merenung dalam. Saya bangun, dan masuk kamar ibu saya, beliau sudah tidur, saya kecup keningnya membisikkan "selamat tahun baru ibu," dan saya kembali ke kamar dengan mata basah.

Tubuh saya lemas membaca bagian twit Eka : "maafin bunda ya nak :(." Saya membayangkan kalau yang terjadi pada Eka juga terjadi pada Ibu saya ketika melahirkan saya. Betapa besar kasih sayang seorang Ibu, hingga ia rela mengatakan itu sebagai kesalahannya, padahal ia tidak melakukan itu.

Eka hanyalah satu orang korban dari kebisingan malam tahun baru, mungkin di sana banyak calon ibu yang seperti Eka. Karena twit eka air mata saya turun, dan dari situlah saya berpikir tegas, bahwa boleh kita merasakan nyaman dan puas akan sesuatu yang kita lakukan, tapi sadari bahwa belum tentu orang lain di sekitar kita pun merasakan hal yang sama.

Secara tidak sadar twit Eka telah kembali menyadarkan saya,
bahwa kita manusia punya rasa yang berbeda mengenai sesuatu hal, mari tengoklah dan pahami sekitar setelah kita memahami diri kita.

Ya, tahun pun berganti. Tubuh pun tak terasa bertambah renta. Hanya kitalah yang lebih mengenal siapa diri kita dan bagaimana harus bersikap. Saya selalu menganggap orang di sekitar adalah buku yang tak akan pernah habis saya baca. Dari orang-orang yang saya temui saya belajar banyak hal. Dan malam ini saya pun belajar dari petasan, terompet dan Eka.

Selamat Tahun Baru Untuk Teman-Teman Semua.


Sekali lagi, terimakasih banyak Eka.


*Tulisan ini bukan bermaksud menggurui, karena saya pun murid abadi



Foto :
1. 3.bp.blogspot.com
2. 1.bp.blogspot.com
3. 3.bp.blogspot.com


salam,

@botaxryan